web widgets

Rabu, Oktober 10, 2012

Sejarah Kesultanan Bima

Sejarah Kesultanan Mbojo-Bima yang  berada di pantai timur pulau Sumbawa di pusat Provinsi Nusa Tenggara Barat dan merupakan kota terbesar di provinsi tersebut. Bima yang modern merupakan wilayah terbesar dan penghubung perekonomian Sumbawa Timur dengan transmigran dari daerah lain Indonesia terutama Jawa, Bali, dan Lombok. Bima memiliki zona pusat kota komersial. Dari informasi global ditambahkan Bima juga merupakan tempat berdirinya Mesjid Sultan Salahuddin dan museum Sultan Salahudin (bekas istana Kesultanan Bima). Bima dihubungkan oleh jalan provinsi ke Dompu dan Sape.

Istana Sejarah Museum Asi Mbojo-Bima.jpg
Kesultanan Bima

Kesultanan Bima mencakup daerah pesisir timur Pulau Sumbawa. Diperkirakan bahwa Kerajaan Bima telah ada pada era Hindu. Akan tetapi data sejarah yang menghubungkan pada perkiraan tersebut sayangnya tidak cukup untuk membuktikannya.

Catatan tertulis dan tanggal hanya tersedia setelah kesultanan masuk ke Islam setelah 1620 masehi. Sumber-sumber sejarah Kerajaan Bima adalah artefak, prasasti dan manuskrip. Sumber-sumber ini menandai fase sejarah Bima, di awali dari pra sejarah sampai penetrasi Islam.

Dua prasasti ditemukan di teluk barat Bima, salah satunya ditulis dalam bahasa Sansekerta dan yang lainnya dalam bahasa Jawa kuno. Prasasti ini adalah bahwa kedua bahasa tersebut, pada masa itu dipergunakan di Bima.

Tulisan-tulisan tua di samping prasasti, ditulis pada masa Islam juga tersedia dan bisa dimanfaatkan untuk menelusuri sejarah pada saat itu. Tulisan tua yang ditulis dalam bahasa Melayu berbicara mengenai kehidupan masyarakat dari abad 16 hingga 20 Masehi.

Bahasa Bima, di samping bahasa Melayu juga dikembangkan di pulau tersebut tetapi tidak ditampilkan dalam tradisi menulis. Teks tua yang dimiliki oleh Kerajaan Bima dan ditulis dalam bahasa Arab-Melayu, Bo Sangaji Kai, menandai bahwa sejarah Bima diawali pada abad ke 14 masehi.

Sementara itu, Kepulauan Sumabawa diperintah oleh kepada suku yang bernama Ncuhi. Ncuhi mengontrol dan membagi Pulau Sumbawa ke dalam lima wilayah: selatan, barat, utara, timur, dan tengah. Nnhuis terkuat adalah Ncuhi Dara dan daerah kekuasaannya disebut dengan Kampung Dara. Akan tetapi, kekuatan struktur Ncuhi mulai berkurang ketika Indra Zamrud (putra Bima) dinobatkan sebagai raja pertama Kerajaan Bima.

Indra Zamrud kemudian menggunakan nama ayahnya, Bima, untuk mengenali semua wilayah di Kepulauan Sumbawa. Ketika Indra Zamrud berusia muda, ayahnya mengirimnya ke Pulau Sumbawa dengan membawa keranjang yang terbuat dari bambu. Ia kemudian tiba dan menginjakkan kaki di Danau Satonda, dekat Tambora.

Ncuhi Dara mendengar kedatangannya, dia menyambut dan mengadopsi Indra Zamrud menjadi anaknya. Ketika ia tumbuh dewasa, lima Ncuhis sepakat untuk mengangkat Indra Zamrud menjadi raja, sementara lima Ncuhis sebagai menteri-menterinya. Kerajaan Bima, di bawah kepemimpinannya berkembang pesar dan menjadi pelabuhan perdagangan penting.

Fakta ini sesuai dengan hasil penulisan di dalam buku Negarakertagama yang menandai bahwa Kerajaan Bima memiliki pelabuhan besar pada 1365 masehi. Sejarah yang disebutkan dalam Bo Sangaji Kai memiliki kemiripan dengan tulisan dalam Negarakertagama.
Bima dan Islam

Kerajaan Gowa-Tallo memainkan peranan penting dalam proses peralihan Bima ke Islam. Pada abad ke 17, kolonialisme Belanda menduduki sebagian besar jalur perdagangan di bagian barat Nusantara. Untuk menghindari dominasi kolonial di Nusantara timur, Gowa mengirimkan tentaranya untuk menaklukkan kerajaan di pesisir timur termasuk Lombok dan Bima.

Kerajaan-kerajaan yang menyerah pun kemudian diislamkan pada 1609 masehi. Sejalan dengan masuknya islam, tradisi menulis mulai berkembang. Oleh karena itu, data sejarah dari Kerajaan Bima yang tersedia sekarang sebagian besar berhubungan dengan tahap setelah pengalihan Bima ke Islam. Meskipun Bima sudah diislamkan oleh Gowa, Raja Ruma-ta Mantau Bata Wadu La Ka’l gagal dialihkan oleh keluarga dan warga negaranya ke Islam.

Pada 1632 masehi, gejolak politik pecah di mana-mana menuntut raja turun tahta. Pergolakan politik ini merupakan hasil dari penarikan tentara Gowa dari pulau. Menghadapi gangguan tersebut, Kerajaan Gowa memutuskan untuk menempatkan kembali tentaranya ke pulau untuk membangun kembali stabilitas politik. Perang berdarah antara tentara Gowa dan Bima tidak bisa dihindari dan berlangsunglah perang yang sangt menakutkan.

Gowa akhirnya berhasil mengalahkan musuhnya dan mengembalikan kejayaan kerajaan Islam. Raja-raja Muslim, di era kekuasaan mereka menggunakan nama Arab untuk menunjukkan identitas mereka. Hubungan timbal balik antara Bima dan Gowa berlangsung sangat baik sekitar satu setengah abad. Tetapi ketika Gowa dikalahkan oleh kolonial Belanda, Bima otomatis menyerang dan diduduki oleh kolonial Belanda.

Episode sejarah terjadi pada akhir abad delapan belas (1792 M) pada masa pemerintahan Sultan Hamid Muhammad Shah di Bima. Sementara itu, Sultan Abdul Hamid ditekan oleh kolonial untuk memasukkan Bima menjadi salah satu daerah protektorat Belanda.

Untuk menjaga hubungan antara kedua belah pihak, Belanda cenderung tidak memperkuat pengaruhnya di Bima, karena hubungan tersebut berjalan dalam keseimbangan. Belanda tidak melakukan intervensi pada pergantian raja-raja di Bima dan tidak ada seorang pun dari raja-raja tersebut yang dikirim ke tempat pengasingan. Hal yang sama juga terjadi ketika Jepang menyusup ke Bima.

Hubungan baik di antara kedua sisi tercipta dengan baik. Tidak ada perang berdarah pada waktu itu. Orang-orang mungkin menganggap bahwa keharmonisan warga Bima merupakan hasil dari pengalamannya selama dominasi Gowa di Bima.

Kesultanan Bima berakhir ketika Indonesia meraih kemerdekaannya pada 1945. Sementara itu, Sultan Bima terakhir, Muhammah Salahuddin, lebih menyukai untuk menyatukan Bima ke dalam kedaulatan Republik Indonesia. Siti Maryam, salah seorang putrid raja, menyerahkan bangunan istana kepada pemerintah Indoneisa, dan sekarang istana tersebut digunakan sebagai museum. Banyak warisan keluarga Kerajaan Bima sekarang bisa dilihat sampai hari ini dari mahkota, pedang dan perabotan rumah tangga.
Periode Kerajaan Bima

Selama berdirinya, Kerajaan Bima diperintah oleh 60 raja atau sultan. Pada masa islam terdapat 14 sultan. Ketika Jepang menyusup ke Indonesia, penguasa saat itu adalah Sultan Muhammad Sahuddin. Dia meninggal dunia pada 1951 dan kemudian digantikan oleh anaknya, Abdul Khair II yang lebih suka aktif di departemen dalam negeri dan parlemen dibandingkan dengan memerintah kerajaan.

Setelah kematiannya, Raja Kerajaan Bima ini kemudian digantikan oleh putra sulungnya, Putra Feri Andi Zulkanain. Wilayah kekuasaan kerajaan termasuk Kepulauan Sumbawa dan daratan timur seperti Solo, Sawu, Solor, Sumba, Larantuka, Ende, Manggarai dan Komodo.
Kehidupan Sosial dan Budaya di Bima

Masyarakat Bima adalah masyarakat multietnis. Etnis pribumi adalah Donggo dan sebagain besar anggotanya berdiam diri di dataran tinggi. Sebelum kehadiran orang luar ke pulau itu, mereka menempati dataran rendah, akan tetapi besarnya desakan dari piah luar, mereka memutuskan untuk menetap di dataran tinggi dengan membawa agama dan budaya baru.

Pemindahan dari dataran rendah ke dataran tinggi harus dilakukan untuk menegakkan tradisi dan agama yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Anggota suku Donggo (salah satu suku Bimia) hidup dengan mengolah tanah dengan sistem primitif, sistem berpindah. Jadi, rumah mereka juga selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Dou Mbojo merupakan suku lain yang menetap di Bima. Mereka berasal dari Makasar yang bermigrasi ke Bima pada abad ke empat belas. Mereka berasimiliasi dan menikah dengan masyarakat penduduk asli dan bertempat tinggal di wilayah pantai. Mereka hidup denga mengolah lahan, berdagang dan nelayan.

Kepercayaan dari komunitas suku di Bima ini adalah Makakamba-Makakimbi yang percaya animisme. Mereka memilih satu pemimpin yang disebut dengan Ncuhi Ro Naka sebagai mediator antara manusia dengan dunia suci. Inti dari kepercayaan ini mirip dengan Marafu yang dianut oleh komunitas Donggo.

Pada saat-saat tertentu mereka melakukan ritual untuk melambangkan kekaguman mereka pada jiwa nenek moyang. Mereka menyajikan sesajen dan ternak sebagai penghargaan. Beberapa ritual selalu dipimpin oleh Ncuhi di sebuah tempat yang disebut dengan Parafu Ra Pamboro. Di samping suku-suku yang disebutkan diatas, diawali dari susupan Islam, perkampungan Melayu juga tumbuh di Bima.

Ferry Zulkarnain yang terpilih secara demokratis sebagai bupati Bima dua kali berturut-tuturt merupakan garis keturunan kesultanan Bima. Suami dari Indah Damayanti merupakan putera mahkota Abdul Kahir II (Ama Ka'u) hasil perkawinanya dengan wanita asal Jawa Barat Hj. R M. Zubaidah mendapat kepercayaan mayoritas masyarakat Bima sejak tahun 2004 hingga saat ini masih menjabat

Berikut ini silsilah kesultanan Bima sejak perintisnya hingga garis keturunan ke empat belas.

Sejarah Susunan Sultan Bima.jpg


Tidak ada komentar: